Weru (Albizia procera) adalah sejenis pohon anggota suku Fabaceae. Pohon dengan banyak kegunaan ini menyebar luas mulai dari India di barat, Asia Tenggara, Tiongkok selatan, Nusantara, hingga Australia utara.[3]

Weru
Albizia procera Edit nilai pada Wikidata

Edit nilai pada Wikidata
Status konservasi
Risiko rendah
IUCN60757956 Edit nilai pada Wikidata
Taksonomi
SuperkerajaanEukaryota
KerajaanPlantae
DivisiTracheophytes
OrdoFabales
FamiliFabaceae
TribusIngeae
GenusAlbizia
SpesiesAlbizia procera Edit nilai pada Wikidata
Benth., 1844
Tata nama
BasionimMimosa procera (en) Terjemahkan Edit nilai pada Wikidata
Sinonim taksonMimosa procera Roxb. (1799)[1]

Mimosa elata Roxb. (1832)

Mimosa coriaria Blanco (1837)

Dalam bahasa Inggris dikenal sebagai white siris, forest siris, tall albizia atau brown albizia; pohon ini juga mempunyai nama-nama: oriang (Mal.), akleng parang (Fil.), thington, suan (Thai), sit, kokko-sit (Burma), dan lain-lain.[3] Sebutannya dalam bahasa daerah antara lain: ki hiang (Sd.); weru, wangkal (Jw.); beru, bangkal (Md.).[4] Epitet spesifiknya, procera, berasal dari bahasa Latin procerus yang berarti “tinggi”, merujuk pada perawakan pohon ini.[5]

Pengenalan

sunting
 
Polongan
 
Ranting berdaun
 
Batang pohon

Pohon yang berukuran sedang, tingginya hingga 30 m dan gemang batangnya 35(–60) cm. Batang bebas cabang hingga 9 m, lurus atau membengkok. Pepagan halus, di luarnya abu-abu hijau pucat, coklat kekuningan, hingga kecoklatan, dengan gigir-gigir melintang, kadang-kadang mengelupas dalam kepingan tipis; bagian dalamnya jingga, lalu hijau, dan kuning jerami atau merah jambu di bagian terdalam. Ranting-ranting bulat dan gundul. Tajuknya renggang.[3]

Daun-daun majemuk menyirip berganda, dengan 2–5 pasang sirip yang hampir berhadapan; tulang daun utama 10–30 cm, gundul, dengan kelenjar 1–2,5 cm di atas pangkal tangkai daun; kelenjar bentuk jorong menyempit, panjang 4–10 mm, duduk, rata atau cekung di permukaannya. Sirip-sirip 12–20 cm panjangnya, gundul, berisi 5–11 pasang anak daun, bertangkai pendek 2 mm; anak daun berhadapan, bundar telur asimetris atau hampir belah ketupat, 2–4,5(–6) cm x 1–2,2(–3,2) cm, seperti kertas yang kaku atau agak seperti jangat, kedua permukaannya sedikit berambut.[3]

Bunga majemuk dalam bongkol, bertangkai (0,8–)1,5—2(–3) cm, dengan 15–30 kuntum bunga duduk dalam bongkol. Bunga-bunga berkelamin dua, berbilangan-5; kelopak serupa tabung atau corong sempit, 2,5–3 mm, gundul, hijau terang, taju menyegitiga runcing; mahkota seperti corong, 6–6,5 mm, putih kehijauan, dengan tabung gundul, taju jorong runcing 2–2,5 mm; benangsari banyak, menyatu di pangkalnya membentuk tabung yang lebih panjang dari tabung mahkota. Buah polong lurus, tipis rata, seperti pita seperti kertas, 11,5–20 cm × 2–2,5 cm, gundul, cokelat gelap atau kemerahan, dengan tanda-tanda yang jelas di bagian bijinya, memecah sendiri. Biji pipih, bentuk jorong hingga bundar telur terbalik, 7,5–8 mm × 4,5–6,5 mm × 1,5 mm.[3]

Ekologi dan agihan

sunting

Weru menyebar terutama di hutan-hutan musim, hutan luruh daun campuran, sabana, padang rumput pirogenik, hingga ke hutan rawa musiman yang kecil. Pohon ini juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder yang terbuka dan di wilayah dengan musim kemarau yang jelas. Akan tetapi pertumbuhan terbaik pohon ini adalah pada area dengan curah hujan lebih dari 2.500 mm pertahun dan rata-rata suhu tahunan antara 21–32 °C. Weru dapat mengkolonisasi padang ilalang (Imperata cylindrica), asalkan lahan itu tidak dibakar.[5]

Weru menyebar alami di Nepal, India, Burma, Thailand, Kamboja, Laos, Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei, Filipina, Papua Nugini, dan Australia. Pohon ini diintroduksi ke Amerika Tengah (Panama, Puerto Rico, Bahama, Barbados, Haiti, Jamaica, Kuba, Republik Dominika, Trinidad dan Tobago dll.) dan juga Afrika (Sudan, Tanzania, Zimbabwe).[5]

Manfaat

sunting
 
Biji

Kayu weru tergolong ke dalam kayu menengah hingga berat, dengan densitas 600–950 kg/m³ pada kadar air 15%,[6] kuat, awet, dan tahan serangan rayap.[7] Kayunya berwarna cokelat hingga cokelat terang, dengan jalur-jalur terang dan gelap; sukar untuk digergaji karena adanya serat yang berpadu.[7] Heyne mencatat bahwa kayu wangkal memiliki bobot sedang hingga agak berat, agak keras, agak padat, berserat kasar, cokelat mengkilap sampai cokelat kehitaman, serta mutunya agak tinggi (termasuk kelas kuat II dan kelas awet II).[4] Percobaan kuburan di Filipina mendapatkan bahwa kayu A. procera tahan hingga 10 tahun, sementara kayu A. saponaria (langir) bertahan 3 tahun dan kayu A. chinensis (sengon) hanya mencapai 16 bulan.[6]

Di Jawa, kayu wangkal dipuji karena sifat awet, kekuatan, dan keindahannya; disenangi untuk membuat alat-alat rumah tangga, bangunan rumah dan jembatan, alat-alat pertanian dan sebagainya.[4] Kayu weru juga dimanfaatkan untuk membuat kereta, roda, perahu, mebel, peti, penutup lantai, tiang, dan ukiran; serta untuk pulp dan kertas bermutu tinggi.[7] Kayu gubalnya cocok untuk digunakan sebagai bahan batang korek api.[4]

A. procera acap ditanam sebagai pohon serbaguna: peneduh, pakan ternak, penghasil kayu bakar, arang, dan kayu pertukangan. Weru bisa ditanam sebagai peneduh pada perkebunan teh. Daun-daun dan rantingnya dimanfaatkan sebagai hijauan pakan ternak yang kaya protein bagi sapi, kerbau, kambing, unta, dan juga gajah, di Asia Selatan dan Filipina; namun di Nusa Tenggara daun-daun ini tidak dipakai.[7]

Weru juga ditanam sebagai penghias jalan, penahan angin, sekat bakar, serta untuk merehabilitasi lahan-lahan yang kritis dan tererosi. Selain untuk meneduhi tanaman teh, weru juga ditanam untuk menaungi kopi. Perakarannya mengikat nitrogen dan meningkatkan kesuburan, serta menahan air dalam tanah.[3]

Sebagai pakan ternak, daun-daunnya mengandung banyak serat dan lignin, menjadikannya sukar dicerna ternak. Kandungan nutrisi N, K, Ca dan Mg mencukupi, namun kurang untuk unsur Na dan P; sehingga perlu dicampur dengan bahan pakan yang lain. Sementara itu, nilai energi weru sebagai kayu bakar mencapai 20.500–21.000 kJ/kg.[3]

Kegunaan lain

sunting

Pepagan wangkal menghasilkan tanin dan dimanfaatkan sebagai pengganti kulit kayu tengguli dalam penyamakan kulit. Pepagan ini juga mengeluarkan banyak getah menyerupai gom arab, yang bisa dimanfaatkan sebagai perekat. Di Priangan selatan, kulit kayu ki hiang dicampur dengan bahan-bahan lain digunakan untuk membius ikan di sungai.[4] Pepagan dan daunnya mengandung bahan aktif yang digunakan sebagai obat tradisional dan juga insektisida.[7]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Roxburgh, W.. 1799. Pl. Corom. 2: 12, i. 121
  2. ^ Bentham, G.. 1844. Lond. J. Bot. 3: 89
  3. ^ a b c d e f g Van Valkenburg, J.L.C.H. 1997. Albizia procera (Roxb.) Benth. Diarsipkan 2021-01-22 di Wayback Machine. [Internet] Record from Proseabase. Faridah Hanum, I & van der Maesen, L.J.G. (Editors). Auxiliary Plants.: Plant Resources of South-East Asia 11: 65-68. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. Accessed from Internet: 25-Jan-2013
  4. ^ a b c d e Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 2: 872-874. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
  5. ^ a b c ICRAF Agroforestry Tree Database: Albizia procera Benth.[pranala nonaktif permanen], diakses pada 25/01/2013
  6. ^ a b Rojo, J.P. 1998. Albizia Durazz. in M.S.M. Sosef, L.T. Hong and S. Prawirohatmodjo. Timber Trees: Lesser known timbers. Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) 5 (3): 58-62. PROSEA Foundation, Bogor. ISBN 979-8316-19-3
  7. ^ a b c d e Winrock Fact Sheet: Albizia procera Benth. Diarsipkan 2013-06-29 di Wayback Machine., diakses pada 25/01/2013

Pranala luar

sunting